MuslimahZone.com – Begitu banyak teori-teori yang ditawarkan dalam mendidik anak. Semua bertujuan sama untuk meningkatkan kualitas potensi-potensi anak-anak kita. Ada yang cocok ada pula yang mental begitu saja ketika kita terapkan. Lantas kita berpeluh mencari lagi kesana, kemari, bertanya pada psikolog anak A, B, C, membeli buku ini dan itu, dan seterusnya.
Kita memang sedang berbicara di tataran ikhtiar/usaha. Dan sangat sah jika kita pontang-panting seperti itu. Dan semoga itu menjadi amal shalih kita, wujud tanggung jawab kita sebagai orang tua.
Namun, ada kalanya saat ikhtiar berjalan ada sedikit jumawa terhadap teori-teori yang sedang atau hendak kita terapkan. Kita merasa mampu membenahi permasalahan anak-anak kita dengan teori-teori tersebut. Ada nilai tawakal yang mulai tersamarkan. Ada niat yang sedikit terkeruhkan. Ada setitik kesombongan yang mampu menggerus semua amal usaha kita. Kita kadang lupa menempatkan di mana ikhlas, khauf (rasa takut), raja’ (rasa berharap), dan tawakal (berserah diri) pada porsi-porsinya yang tepat.
Jika sudah demikian hal yang paling nampak nyata adalah kekecewaan. Ya, jika ternyata teori itu gagal, dengan sedikit saja kesombongan di awalnya, maka kita akan mudah kecewa. Dan yang lebih mengerikan adalah jika teori itu berhasil, kesombongan kita mungkin dapat berlipat menjadi beberapa kalinya. Na’udzubillahi min dzalik.
Dari Sini Kita Memulai
“Allah Yang Maha Pengasih, yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara.” (QS. Ar Rahman 1-4)
Ketika ada seorang pemuda korban perang di Suriah sana yang divonis amnesia total karena kehilangan semua memori di otaknya. Lantas, kita harus menjawab mengapa lisannya tak lupa melafadzkan surat Al Fatihah? Di belahan otak mana Allah menyimpan folder Al Fatihah?
Di sini, kita harus benar-benar melapangkan dada kita bahwa kita terhadap anak-anak kita tak mampu mengajarkan apa-apa jika bukan Allah yang mengajarkan mereka. Sehebat apapun teori yang kita terapkan. Hanya Allah yang mampu menyimpan ilmu-ilmu itu dalam hati anak-anak kita. Hanya Allah yang memampukan bayi-bayi kita mengoceh ayayayaya, hanya Allah yang mengajarkan balita kita hafal surat Al Ikhlas, hanya Allah yang membuat mereka mengerti adab-adab sehari-hari. Lantas peran kita? Laa hawla wa laa quwwata illaa billah..
“Bacalah dan Rabbmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq 3-5)
Ya. Setelah niat yang benar, maka rasa ini yang harus pula menyertai titik awal perjalanan kita dalam mendidik anak-anak kita. Rasa tak mampu dan tak berdaya tanpa pertolongan dariNya. Dan memang bukan cuma rasa tapi itu fakta. Dan sekali lagi rasa ketidakberdayaan ini bukan untuk membuat kita menjauhi ranah usaha, justru usaha adalah bentuk syukur kita atas daya yang sudah Allah percayakan pada kita. Kewajiban kita adalah berikhtiar seoptimal mungkin (menetapi kaidah sebab akibatnya/ kausalitasnya) sambil berkewajiban pula menepis arogansi-arogansi diri yang menyesatkan.
“Allah, tidak ada Rabb selain Dia. Yang Maha Hidup, yang terus menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur. MilikNya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafa’at di sisiNya tanpa izinNya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmuNya melainkan apa yang Dia kehendaki. KursiNya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Maha Tinggi, Maha Besar.” (QS. Al Baqarah:255)
Semoga Allah memberikan kita kenikmatan dalam mendidik anak-anak kita dan menjadikan mereka hijab kita dari api neraka. Aamiin. (esqiel/muslimahzone.com)